KISAH TAUBATNYA SI ROY

Oleh. Bintuzen

-------------######--------------

'Praang!

Lagi dan lagi, kudengar perang kali ini masih berhiaskan piring terbang. Entah sudah sebanyak apa perabotan ibuku dibanting dan dirusaknya. Aku sangat prihatin.

Roy, bukan nama sebenarnya. Putra tertua ibuku yang beranjak 20 tahun itu mudah sekali terpancing emosinya. Bisa dibilang mirip sama cewe yang lagi jatah bulanan. Entah apa yang melatarbelakangi sifatnya yang keras kepala dan egois. Sedih yang kurasakan saat melihat dirinya terlampau sangat berani dan menentang ibu kandungnya. Ibuku yang sudah melahirkannya dengan peluh keringat sembilan bulan lamanya. Ah, mungkin saja sudah dilupakannya. Adu mulut yang sering disaksikan adik-adikku itu terkadang bisa membuatku terpancing bahkan sampai kehilangan akal Sehat. Astaghfirullah, gumamku.

Malam itu, selepas sahur. Aku menutup telinga dari keributan yang terjadi di belakang. Bukannya egois, hanya menjauhi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku hamil besar, dan berniat berlebaran menemani ibuku bersama anak-anakku. Puncaknya saat pertengkaran memuncak justru melebar ke salah satu adik perempuanku, ditamparnya wajah adik tanpa belas kasih. Sontak aku pun tersulut emosi dan rasa kemanusiaanku menyaksikannya. Aku hanya ingin membelanya saja, tapi bukannya meredam api malah menyiram bensin. Kehadiranku hanya membuat kemelut disana semakin memanas.

Ibuku sampai harus turun tangan dan melerai anak-anaknya sebelum semuanya semakin bertambah parah. Merasa dipojokkan dan tak mau kalah Roy masih membela diri bahkan berucap kasar. Semua orang disana yang melawannya akan dipukulnya semena-mena. Fatal, api sudah mulai melebar luas tak tentu arah. Aku bahkan sampai menceletuk, "uh dasar pengangguran. Dasar pemalas! Mana baktimu pada ibu sampai berbuat sedemikian kasar? Mau diadukan ke polisi?", ucapku sambil berteriak krncang menahan amarah. 

Plaaak! Mulutku dibungkamnya hingga berdarah. Aku menangis sekencang-kencangnya. Anak-anakku yang polos ikut menjadi saksi keberingasan Roy padaku. Ibu dan adik-adik mulai bersahutan membelaku. Suasana semakin tak terkendalikan, aku berniat menghubungi polisi dan RT setempat. Suami dan ayahku langsung menghubungi diriku begitu menerima bukti rekaman yang kukirimkan. 

Mereka semua berusaha menenangkan diriku, ibu sadar bahwa aku masih waras. Maka langkah yang harus kuambil adalah bersabar. Menjauhi kesintingan Roy yang kelewat batas. 

Kami para wanita yang lemah akalnya, tentu kalah dengan sifat kasar dan kekanakannya. Roy yang sok kuat secara fisik merasa semua orang harus tunduk padanya. Sedikitpun bahkan Roy tak merasa bersalah. Apalagi terbesit untuk meminta maaf. Kalaupun Roy mengucap maaf ternyata sekedar dimulut saja, entah tulus dari hatinya ataukah tidak. Terbukti esoknya masih saja mengulang hal yang sama. Tak sadarkah ia jika kekerasan hanya berakibat buruk bagi dirinya?

Tak selang beberapa lama, ditemukanlah akar dari masalah malam itu lantaran sakit hati Roy dengan sikap cuek salah satu adikku padanya. Gatalnya mulutku yang langsung menanggapi, "Ngaca tuh, makanya kalau mau dibaikin ya sedikitlah berbuat baik", walaupun memang alangkah baiknya kita tetap berbuat baik pada mereka yang berbuat jahat. Itu salah satu nasihat ibuku. Aku malah mengelak, "Aku belum bisa sekuat ibu"

Kata ayahku, "Roy itu salah satu diantara sekian banyak anak yang diasramakan, setelah sebelumnya full day school diusia dini. Roy merasa kurang perhatian juga kasih sayang keluarganya, dampaknya ia merasa jauh dengan orang tua dan melewati masa kecilnya dengan haus kasih sayang. Ketika mulai beranjak dewasa, ia tak lagi ada kedekatan psikologis dengan orang tua, terkadang ia menganggap dirinya sebagai anak terbuang". Aku paham, bisa saja ketika ia dibully teman-temannya, ketika ia menghadapi permasalahan, ketika sakit dsb. Roy sebenarnya sangat membutuhkan kehadiran orang tuanya.  Sedangkan di asrama Roy tak pernah mendapatkannya, di rumahpun orang tuaku selali sibuk dengan pekerjaannya. Maka pelariannya adalah dengan 'melupakan' orang tuanya dan berjuang menghadapi sekian banyak tekanan yang sebetulnya belum mampu Roy hadapi. Ketika sudah seperti itu, tentu tidak ada lagi semangat untuk berbakti.

"Saat Roy usia SD, SMP dan SMA, seharusnya pola pendidikan juga berbeda sesuai dengan tingkatan kepribadiannya.  Ketika kebutuhan Roy kurang terpenuhi, kerjasama orang tua dan guru bisa jadi sangat kurang, maka berbagai permasalahan tentang Roy pada akhirnya akan muncul. Entah Roy yang bolak balik pindah asrama atau bahkan merasa tak betah tinggal disana", jelas ayahku.

Ini contoh masalah yang sering timbul dalam keluargaku. Bukan hanya secara verbal saja, tapi bahkan kudapati Roy berani melakukan kekerasan fisik seperti fenomena diatas. Seperti menendang, menampar wajah atau bahkan membungkam mulut ibuku yang berusaha menasehatinya agar tak sering keluar malam bahkan hingga menjelang jam subuh, itu dulu. Tapi sekarang Roy justru lebih mudah marah tanpa alasan jika ibuku mulai memintanya untuk shalat berjamaah karena bagaimanapun ia adalah anak lelaki paling besar yang harus menjadi contoh bagi adik-adiknya. Nihil, ia dengan mudah mengabaikannya dengan ribuan alasan. Roy masih suka berbuat kasar kepada siapapun yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Si kepala batu, itu julukan yang sering kusematkan padanya. Tapi aku tak menyadari julukan itu bisa saja bertumbuh menjadi doa. Itu kesalahanku. Bodohnya aku yang turut andil menyuburkan karakternya, seharusnya itu tak pernah kulakukan.

Ayahku sering sekali memintaku agar belajar untuk tidak  mencerca, menghakimi dan memberi label negatif pada siapapun. "Hal-hal tersebut akan makin membuat kepribadian Roy semakin  rapuh, dan dalam dirinya akan tertanam jika ia adalah anak yang buruk, jahat dan bermasalah. Padahal bisa jadi, permasalahan dirinya merupakan bentuk akumulasi dari pola pendidikan di rumah dan lingkungan yang keliru", imbuh ayahku.

Ayah juga sangat menyadari, ketika kita sebagai orang tua terlalu sibuk dan kurang mengawasi pergaulan anak-anak kita, maka kita juga tak mengetahui dengan siapa anak-anak kita bergaul. Sehingga ketika salah satu anak kita ada yang terjerumus kepada perilaku buruk akibat meniru teman bergaulnya, kita tentu akan sangat kewalahan menghadapinya.

Saat Roy semakin beranjak dewasa, fisiknya semakin kuat, kesalahan yang belum dideteksi dengan baik memang tak seharusnya digertak dengan kekerasan fisik padanya.  Ayah sadar akan kesalahannya dulu dalam mendidik Roy, yang ternyata malah menimbulkan dendam dalam hatinya. Bom tersebut bisa saja meledak layaknya bom waktu. Semakin beranjak dewasa logikanya akan semakin jalan.  Roy tak akan bisa menerima sebuah pemahaman kecuali yang bisa diterima dalam penalarannya.

Sebelumnya kami bahkan sampai menaruh curiga. Kepribadian ganda Roy yang sering ia perlihatkan hampir membuatku berpikir "mirip" dengan gejala bipolar. Karena sejujurnya pernah suatu waktu kebiasaan main tangan yang kelewat batas itu kuadukan pada nenek, dan jawaban yang keluar hanya seolah mengiyakan namun di lain waktu malah kembali terulang. Begitu seterusnya, Roy hanya "jahat" pada ibu dan saudara-saudaranya saja. Sedangkan dengan selain kami, ia selalu tampakkan wajah manis ramahnya. Ternyata Roy memang sudah beranjak dewasa, diberi nasehat ceramah tentu hanya akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Hilang tanpa jejak tak berbekas di hatinya.

Ayah selalu meminta ibu agar memberinya nasehat mengalir bersama kehidupan, tak terlihat formal dan kaku. Seperti dengan mengajaknya keluar sesuai dengan hobinya.  Entah itu menembak, hobi memancing, hobi naik gunung, berkuda dsb. Selama tidak bertentangan dengan syariat, kenapa tidak?

Aku bahkan mengajak ibu agar selalu mendampingi Roy.  Jadi keduanya punya quality time berdua sehingga nasehat itu bisa disampaikan dengan sangat hati-hati.  Ia tak lagi merasa dipojokkan, atau bahkan dikeroyok dengan ceramah dari kita keluarganya.

Pernah juga kupinta, agar ayah dan ibu untuk saling menguatkan ikatan. Apalagi ayah memang merantau tempat yang jauh. Alangkah indahnya jika kita bisa lebih sering berkumpul dan saling berbagi rasa, curhat dan menguatkan hubungan keluarga.  Kegiatan seperti jalan-jalan di pantai bersama keluarga, memancing, jalan-jalan ke gunung, hal yang sederhana seperti ngobrol di meja makan saat makan bersama, tentu akan mempererat tali persaudaraan kita. Mengajaknya bersilaturahmi dengan saling mengunjungi keluarga lainnya, pasti akan membawa dampak positif psikologi bagi Roy dan adik-adiku yang lain.

Suatu hari, Roy kembali mengulang kebiasaan yang sama dengan pulang larut malam. Kebiasaan tadi tanpa disadari juga diikuti oleh adikku yang lain. Hal ini tentu membuat resah dan khawatir ibuku. Apalagi berefek pada jamaah subuh yang ia lewatkan. Saat itu ibuku hanya bertanya, "darimana saja semalam Roy?". Ia hanya terdiam tanpa jawaban. "Ayolah nak bersegera ke masjid", gugah ibuku padanya. 'Aargh! Jawabnya malas.

Ibuku yang terpancing, mulai berteriak untuk sekedar membangunkannya. Melihat putranya yang tak juga beranjak, ibu menduga ini disebabkan tontonan pertandingan bola yang semalam ia saksikan bersama teman-temannya. Akupun iseng menengok akun sosial medianya dan mulai scrolling. Benar saja, mataku tertuju pada akun seorang wanita yang sering ditagnya. 

"Hmm, jadi sudah punya pacar sekarang, yah" aduku di grup keluarga sembari memposting foto Roy yang bersanding dengan wanita asing. "Pantas saja hobinya keluyuran tiap malam", gumam ibuku.

Hari itu, ibu juga sempat menegurnya. Roy diminta untuk fokus mengembangkan karir juga bakatnya, menyelesaikan pendidikannya agar siap dikirim ke perantauan. Bukan malah menyadari kesalahannya, Roy justru beradu konflik. Rupanya, Roy terus memancing pertengkaran dengan ibu seperti biasa.

Ayah yang menyaksikan lewat video call mencoba membuka wawasan ibu. "Umur 20 tahun itu tidak bisa didikte.  Biarkan Roy menjawab sendiri permasalahan yang kita kasih", 

Ayah memberikan contoh, "Lihat tuh Roy, mereka anak-anak liar di jalanan. Tidak kenal Allah, saat waktunya sholat malah ngamen. Kalau tiba-tiba ketabrak mobil trus mati sih gimana di akhirat ya?"

Atau bisa dengan peringatan, "Ada orang yang diazab di dunia gara-gara durhaka kepada ibunya, serem pokoknya, semoga kita dijauhkan ya Roy"

Bisa juga dengan pertanyaan,

"Akibat perbuatan zina itu sangat mengerikan, kita harus hati-hati, kamu tau nggak hal-hal apa yang bisa mendekatkan kepada zina?"

Dari contoh pertanyaan terakhir, Roy akan bisa menjawab "contohnya pacaran".  Nah kemudian dengan hati-hati kita bertanya, "Lalu apa ya solusinya?". Begitu seterusnya, pancing Roy untuk menjawab, arahkan apabila jawabannya menyeleweng, timbulkan kesadaran dari pribadinya. Ibuku mengiyakan dan mengikuti saran ayah. Mulai dari hal sederhana tadi, Roy mulai belajar bersikap lebih dewasa. Agar kelak bisa mandiri dan membahagiakan keluarga tercintanya. Aku bersyukur. Roy akhirnya mengikuti kemauan ayah agar berangkat berlayar.

Tak selang beberapa hari kemudian, aku dan ibuku berulang kali mendapat panggilan dari orang tak dikenal. Sebut saja, bu Mila. Ia mengaku sedang merawat seorang anak terlantar bernama Roy asli Solo yang sedang mencari keluarganya dan membutuhkan bantuan finansial karena kondisi kesehatannya yang sedang drop. Sontak kamipun terkejut, Roy justru terdampar "mengenaskan" di suatu pulau tanpa satupun orang yang ia kenal. Roy berusaha mengemis bantuan dan minta dipulangkan dengan dalih kecopetan. Ia memohon belas kasih banyak orang agar diberikan ongkos pulang. Sehingga banyak yang mempublish fotonya saat terbaring sakit dan berlanjut viral di kampung kami. Seketika ibuku lemas, karena banyak orang yang ingin datang membantu bahkan masih ada juga yang malah memanfaatkan moment ini. Ibuku langsung lemas merasa gagal mendidiknya selama ini. Kamipun prihatin dan jujur merasa gemas melihat kelakuan Roy yang seperti anak kecil, ia sampai menelfon ibuku hanya sekedar meminta ongkos sabun mandi.

Singkat cerita, Roy berhasil pulang ke rumah. Namun kelakuannya belum juga berubah. Roy semakin menjadi-jadi dan menganggur tanpa kesibukan. Hal ini tentu mengakibatkan emosinya yang labil dan mudah terpancing seperti sebelumnya. Tapi ibuku tak pernah jemu menghujani Roy nasihat demi nasihat, agar ia bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Ibuku memang hampir saja berputus asa karena beban pikiran maupun perasaannya yang menangis setiap saat. 

Di lain kesempatan peran ayah yang selalu sabar mengajak kami agar mengambil pelajaran dari kehidupan, pernah suatu waktu diajaknya Roy menyantuni fakir miskin, kami juga selalu diingatkan ayah tentang betapa pentingnya untuk senantiasa bersyukur.  Ayah mengajak kami mengunjungi anak-anak yatim dan menyantuni mereka, ayah hanya meminta kami agar tak lupa bersyukur masih memiliki orang tua yang lengkap dan sehat.

Nenek kami bahkan pernah mencarikan Roy kesibukan agar mengikuti simbah liliknya yang punya kambing untuk ikut serta membatunya berjualan qurban. Ayah meminta Roy agar ia tak mengharapkan nominal gaji, tapi semata-mata menambah pengalaman.  Adapun hasilnya adalah bonus agar tak lagi menyusahkan ibu berujung pada pertengkaran. Kadang Roy juga diajak membantu di pabrik air minum galon, ikut di persawahan, ikut mengurus burung, ikut jaga toko roti, kerja di percetakan dll. Semaksimal mungkin ibu turut andil mencarikannya pekerjaan di tempat kerja yang terkondisikan lingkungannya, dimana ada kesempatan saling memberi nasehat sehingga harapannya lambat laun Roy juga terbawa ke arah yang lebih baik.  

Satu hal yang sering kita lewatkan, semua itu kadang kurang sesuai dengan minat dan bakatnya. Roy kadang merasa disana adanya sebuah paksaan.  Hingga saat ini, kami terus belajar agar Roy bisa menemukan arah hidupnya. Tumbuh kepercayaannya, sehingga saat itulah bimbingan dan hidayah ke arah yang lebih baik akan lebih mengena di hatinya.

Selain upaya diatas, tentunya do'a sebagai senjata bagi ibu terhadap anaknya dan berbagai sarana lain yang bisa mengantarkan Roy kepada ilmu kita maksimalkan setiap harinya. Seperti menyarankan pengajian, menghadiahi buku-buku Islam untuk remaja dsb. Perjuangan ibuku pada akhirnya membuahkan hasil, setelah harus melalui sekian banyak ujian yang ia lewati.

Hingga di suatu waktu, kami dibuat terkejut dengan perubahan Roy yang sangat drastis sepulangnya dari berlayar bersama ayah. Roy sangat santun dan mengasihi ibu juga adik-adikku. Disaat yang bersamaan, diam-diam Roy sudah menghadiahi ibu dan ayahku sepasang tiket perjalanan umroh. Tangis ibuku meledak tersedu-sedu tak percaya dengan perubahan Roy yang bagaikan sebuah mimpi. Akupun ikut emosional, larut dalam kehangatan keluarga kami. Doaku terkabul sudah, kami kembali dipersatukan. Alhamdulillah.

Tanpa banyak berfikir, aku langsung mengungkapkan kebahagiaan itu kepada suamiku. Yang lebih mengejutkannya, suamiku langsung bertanya padaku. "Neng, niatan akang umroh ditunda dulu saja ya. Tiketnya mau dikasih ke Roy, boleh?" Aku langsung memeluknya. "Tanpa perlu akang bertanya, insyaAllah neng sangat mendukung. Terimakasih ya kang", jawabku yang langsung berlari menuju kamar Roy.

Sesampainya disana, kudapati Roy masih di kamar mandi. Aku tak sabar mengejutkannya dengan kabar gembira ini, tapi mataku tertarik dengan buku 'Catatan si Roy' yang terbuka di kasurnya. Sekian lama ia diperantauan, tak kusangka bakat terpendam yang baru kutahu darinya selama ini adalah menulis diary. Aku sedikit tak percaya awalnya, karena disana banyak kutemukan coretan-coretannya hanya tentang puisi. 

Apakah puisi tentang cinta? Memang betul, tapi bukan cinta pada seorang gadis. Melainkan tentang cinta dan kerinduannya pergi ke baitullah. Sekian lama ia mengumpulkan uang ternyata untuk mewujudkan mimpinya itu. Dan hari ini, ia hadiahkan mimpinya untuk ibu dan ayahku. Akupun larut bangga dan bahagia hingga kedatangannya mengagetkanku. Roy tersipu melihatku membaca diarynya. "Maaf ya tadi kebuka", sambungku sambil kukembalikan. "Roy, ini ada titipan dari abangmu", lanjutku.

"Mbak, ini serius?" Tanya Roy tak percaya, akupun tersenyum mengangguk. Seketika ia langsung sujud syukur dan memelukku erat, "Roy doakan mbak dan keluarga bisa berangkat bersama-sama ke baitulloh". Jawabnya.

Aku tersenyum lega mengaminkan doanya. Kisah taubatnya adik kesayangaku ini, Roy. Semoga diampuni Allah semua cerita kelamnya di masa lampau. Semoga ia tetap istiqomah di jalan hidayahMu. Aku sama sekali tak menyangka, begitu manis takdirNya menuntun cahaya untuknya. Hanya satu pintaku, kita semua dipertemukan dalam jannahNya kelak. Aamin Allohumma Aamiin.

Maafku padamu adik tertuaku, setulus cintaku merangkai cerita ini. BaarakAllahfiikum.

Dari mbakmu yang merindukan pelukanmu.

Wonosalam, 22 July 2019

---------------######--------------

Sepetik Hikmah dan Renungan Diri

(based on a true story)

Comments

Popular Posts