ABAHKU SAHABATKU

oleh. Bintuzen



Ini kisah tentang cinta pertamaku, ditulis dalam rangka melengkapi sebuah memoar persahabatan dipenghujung malam yang serba terbatas. Semoga berkenan untuk dinikmati. 

Aku ibu dari 3 balita. Juga sulung dari delapan bersaudara yang sejak 1995 sudah dilahirkan. Abahku kakak ketiga dari tujuh bersaudara. Memori masa kecilku dengan abah selalu berhias penuh drama dan cerita-cerita bagaimana beliau dewasa dan mandiri sejak belia. Abah yang dekat dengan sang kakek dan tinggal cukup lama bersamanya. Hidup penuh disiplin, bekerja dengan bersih dan cekatan sudah sering dicontohkannya dalam keseharian keluarga kami, sejujurnya kisah cinta kami kala itu membuatku mengalami trauma kecil tentang laki-laki.

Tak heran jika dimasa balita, aku sudah diajarkan giat mengeja huruf hijaiyyah berdua dengan abahku saja dimana bocah seumuranku masih banyak yang suka bermain. Aku bahkan pernah dimoment harus jauh dari sosok abah yang perang ke bumi Ambon, meninggalkan usaha sale pisang demi panggilan dakwah katanya. Berbulan-bulan rasanya aku yang sangat kecil itu menahan kangen. Apa ini rasanya jatuh cinta? Aku belum yakin.

Kepulangannya, setelah aku disekolahkannya ke lembaga formal terpadu. Abah langsung mendorongku untuk mempelajari skill didunia jahit menjahit seperti yang pernah ditekuni umiku dulu.

Ohiya, perjalanan cintaku masih berlanjut lho sampai mengenyam pendidikan hingga ke Jawa Timur dan Madrasah Aliyah. Tentu diselingi rasa rindu yang kian memuncak bertahun-tahun lamanya, menghadapi kenyataan untuk melepas abah pergi merantau. Lika-liku pengalaman menakjubkan yang kami lalui bersama sangat sulit dilupakan dan diungkapkan dengan tulisan. Masih terngiang pula akan sikap tegas dan ringan tangannya yang menghiasi tawa kecil kami dulu, sungguh berkesan dan terbilang menyedihkan bagiku yang rindu akan kelemah lembutan darinya. Aku baru menyadari, aku sangat mencintai dirinya.

Bagi kami anaknya, masih belum cukup umur lho memahami logika berpikir kaum dewasa kala itu. Dan ternyata sulit ya rasanya untuk bisa memahami arti kasih sayangnya. Bahkan setelah itu semua, masih belum menghilangkan dahagaku akan haus pada dunia pendidikan yang sarat akan kelembutan. Aku masih belajar bagaimana caranya sosok orang tua bisa tetap berwibawa dihadapan anaknya tanpa ada kedurhakaan yang sering kita saksikan selama ini.

Singkat cerita, pasca kelulusanku dari Aliyah. Abah memberikan keputusan terbesar pertama kalinya dalam sejarah hidupku untuk menikah dini diusia yang ke-18. Secepat itukah mempercayakan diriku pada sosok yang baru dikenalnya? Patah hati pertama mulai kurasakan.

Aku ingat benar, abah sudah mendaftarkanku ke salah satu perguruan tinggi kesehatan di Jogja demi melihatku mandiri menjadi seorang bidan. Sulit rasanya berbagi kehidupan dengan lelaki baru selain abahku, my first love.

Siapa yang menyangka ini kali kedua bagiku menyaksikannya meneteskan air mata. Setelah yang pertama dulu, kala adu mulut dengan umi demi mempertahankan keutuhan keluarga kami agar tetap menyaksikan putra-putrinya selaras antara pendidikan formal dan pesantren. Kini dihari akadku, cinta abah padaku membuat matanya sembab berkaca-kaca melepaskanku. Pasalnya, tak pernah sedetikpun terbesit dalam benak pikiran kecilku walau sepintas saja akan menjadi calon pengantin yang terbilang sangat muda dikalangan teman-teman seusiaku.

Hingga tiba suatu hari dimana aku harus menghadapi kenyataan yang berat untuk memilih antara mewujudkan cita abahku atau bakti suamiku. Berbekal istikhoroh. Tercapailah final sepakat dan tekad untuk mengambil jalan bersama restu umi dan keluarga suamiku. Semua ditempuh demi meraih ridho suamiku dan menjaga keutuhan rumah tangga yang baru seumur jagung.

Nekatlah aku melepas almamater mahasiswa kala itu, tentunya dengan sekian pertimbangan yang ada. Salah satu diantaranya adalah ketidakcocokan diriku dengan materi kebidanan yang menyita hampir sebagian besar waktuku dan biaya pendidikan yang tak sedikit dengan mudahnya kuakhiri secara sepihak tanpa restu abahku. Aku yang masih labil kala itu untuk pertama kalinya mengecewakan hatinya.

Sekilas teringat dengan perjuangannya yang merelakan dirinya jauh dari keluarga berkelana melebarkan kapal ke negri orang demi sebuah kebutuhan yang tidak sedikit, bekerja keras untuk memenuhi sesuap nasi dan bekal pendidikan adik-adikku. Kini justru harus menelan ludah dari kejauhan menyaksikan putri pertamanya sendiri mematahkan hatinya. Memang, ternyata ujian bagi banyak orang tua adalah ketika amanah anak yang ia dapatkan itu harus dilepas kembali kepadaNya. Semoga itulah jalan yang terbaik dan diberikan ganti yang lebih baik lagi.

Hingga akhirnya, setelah sekian bulan berlalu. Luluhlah hati abah memberiku maaf dan mulai menjalin komunikasi walau tak lagi sesering dulu. Sejak itulah sosoknya menjadi sahabat terbaik yang kupunya sepanjang masa, lalu cintaku terasa sangat tulus kurasakan mengalir pada sosok suamiku sekarang. Lega sudah penantian panjangku, meraih restu abah yang tak pernah jemu walau sebentar bertanya dan bersapa kabar keluarga kecilku, abah yang masih terus tanpa bosan memberikan petuah nasihatnya, abah yang dari kejauhan memelukku dalam doanya, abah yang terus memberikan dukungan penuh tanpa absen memanjatkan harapan disepertiga malamnya, beliau yang terus memohonkan ampun untuk keluarga besar kami, agar senantiasa sejuk kehidupan kami dipandang mata. Mengingatkan kami untuk terus menjalin komunikasi, bekerja keras dan menjaga hafalan disepanjang hari. Abah, cintaku padamu tak pernah pudar walau sedikit. Terimakasihku untukmu takkan pernah cukup untuk menggantikan sayangmu padaku dan adik-adik. Maka perkenankanlah kusampaikan surat cintaku ini padamu.. jaga kesehatan ya abah sayang,

Semoga kami segera disatukan tanpa abah harus kembali merantau diusia senja yang sudah pasti menghampiri, kelak bisa mengumrohkan abah umi dan mewujudkan rumah makan untukmu bah, yang selalu punya resep andalan dan hobi di dapur. Semoga Alloh azza wajalla tambah kekuatan bagi kami agar dimampukan dalam mewujudkan cita besar ini kelak suatu hari nanti, pelan tapi bismillah. Semoga keluarga besar kita kelak dikumpulkan di jannahNya. Aaminn Allohumma aaminn. 


Penulis ingin menyampaikan jazakumullahkhairan kepada seluruh pembaca pada umumnya yang sudah menyempatkan menyimak tulisan sederhana ini, dan kepada tim penanggung jawab antologi persahabatan pada khususnya karena telah memberikan kesempatan bagi penulis menorehkan ungkapan syukur melalui ketikan androidnya. Agar kelak semakin bersemangat melanjutkan karya menakjubkan, sebuah cita tiada akhir. Membersamai kita dalam rajutan ukhuwah, terus bersemangat dalam membesarkan putra putri kita menuju indahnya persahabatan yang hakiki..

Purnama malam yang sudah lewat,

Ummahnya abdulloh, khodijah dan abdurrohman.

Wonosalam, Sabtu 20 Juli 2019

Comments

Popular Posts