MASA KELAM DULU


(sebuah memoar perjalanan dipersembahkan untuk ibu tercinta) 

Oleh. Bintu Zen


Dear ummi.

This is all about us.

pahit manisnya hubungan kita,

Juga cerita tentang si kacamata usang.

Which is open my eyes,

Tentang lembaran kelam,

Yang tak ingin kembali kubuka

Namun datang cukup sebagai kenangan

Agar bisa jadi sepetik hikmah

Bagi setiap pembacanya.


Ummi, ini sebuah sisi lain dariku,

Putri pertamamu

yang selama ini tak menganggapmu ada.

Ini juga tentang angkuhnya aku,

Yang seolah amnesia

akan jutaan kebaikanmu padaku.

Ummi yang selalu saja salah dimataku.

Ummi yang selalu saja cerewet dan kurang bagiku.

Entah sesering apa, selalu kuabaikan ummi.

Disanalah semua berawal,


•••


Pabelan, 1997

Hujan deras mengguyur rumah kita. Pertama kalinya dalam hidupku aku melihatmu dengan sangat cemas dengan mata berkaca-kaca sambil berjalan mondar mandir sepanjang koridor ruangan. Aku yang masih balita hanya bingung penuh tanya menelisik penyebab air mata itu mengalir ke pipimu. Tanpa memberanikan diri untuk bertanya, akupun akhirnya tersadar bahwa penantianmu menunggu Abah yang tak kunjung pulang adalah alasan dibalik rasa khawatirmu. Tentu kembali ke rumah di tengah malam tanpa kabar sedikitpun sepertihalnya hari ini kita memiliki ponsel bukanlah sesuatu hal yang wajar. Entah apa gerangan penyebab Abah sampai terlambat pulang. Putrimu kini sangat memahami perasaan campur aduk yang dulu pernah ummi rasakan. Sangat sesak bukan? menahan rindu dan menutupi rasa khawatir adalah hal berat yang ummi ternyata bisa lewati dengan lapang dada. Aku baru mengagumimu hari ini, saat aku mengingatmu.


•••


Pabelan, 1998

Masih dalam rangkaian ingatan masa kecilku tak lama pasca kelahiran adik kedua. Hari itu ummi dan Abah bertengkar hebat. Pertengkaran yang membuatmu harus keluar rumah dan berjalan menyusuri jalanan yang basah karena hujan. Ummi bahkan hanya menggendong adik yang masih bayi, sedangkan aku dan adik pertama masih tidur terlelap. Sontak akupun terbangun diminta oleh Abah mempersiapkan diri di pagi yang buta untuk diajaknya keluar rumah. Dalam bayangan kecilku yang sangat lugu kala itu mulai tersusunlah puzzle jawaban mengapa Abah mengajakku pergi. Abah berangkat untuk menjemput dan memintamu untuk kembali pulang ke rumah kita mih. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan ummi jika hari itu Abah tak datang menjemputmu. Jika boleh aku bertanya, apa yang menggerakkan kakimu untuk meninggalkanku di hari itu mih? Sejujurnya aku sangatlah sedih dengan kekecewaan terdalam. Mungkin ini ya mih, penyebab banyaknya kaum kita yang harus terjatuh ke lubang penyesalan ke tempat paling terkutuk yang Allah ciptakan. Salah satunya adalah, keluarnya seorang wanita dari rumah suaminya dan dengan mudahnya kita dalam melontarkan perpisahan padanya. Terlepas dari semua itu, putrimu yang kini berjalan lima tahun melewati bahtera rumah tangganyapun paham betul akan pendek dan lemahnya akal kita wanita, sehingga membutuhkan lelaki sebagai imam yang mampu mengayomi kebutuhan bahasa cinta kita agar tetap berjalan dengan langgeng juga selamat hingga tujuan akhir tercapai. Aku sangatlah yakin tentu ada alasan besar dibalik kuatnya ikatan pernikahan ummi dan Abah yang sudah berjalan hampir 25 tahun ini. Dan tanpa kekuatan dan kesabaran dari cinta ummi dalam pengabdiannya pada sang suami, semua ombak tadi tak mungkin bisa terlewati bersama. Lagi, kekagumanku pada ummi semakin bertambah saja sekarang bak air mengalir memenuhi gelas kalbuku yang sebelum ini kering kerontang. Aku bahkan sadar, sangat mengagumimu yang teguh pendirian untuk tidak ikut andil dalam melestarikan kekerasan dalam rumah tangga. Yang bahkan dalam cara ummi mendidik kamipun sangat dipenuhi dengan belaian kasih sayang kelembutan. Aku salut dan jatuh cinta padamu mih.


•••


Jaten, 1999

Usaha sale pisang yang didirikan Abah saat itu mengalami kebangkrutan. Bersamaan pasca kelahiran adik nomor empat, Abah juga mendapat kepercayaan untuk mempersiapkan diri berangkat membela saudara muslim di tanah Ambon yang tertindas dengan memimpin sebuah komando, itu cerita Abah yang kudengar. Berbulan-bulan lamanya aku dan ketiga adikku didampingi ummi menjalani hari-hari tanpa Abah. Saat itu, aku adalah saksi hidup akan besarnya kekuatan dan kesabaran yang luar biasa dari dalam pribadi ummi. Yang kuheran, entah bagaimana cara ummi saat itu menghidupiku dan adik-adik dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Entah apa yang ummi lakukan untuk menutupi rasa rindumu saat itu pada Abah? Bagaimana juga usaha ummi dalam meyakinkan para tetangga yang kadang masih memandang sebelah mata keluarga kita ditengah maraknya berita tentang pemberontakan dan terorisme? Kenapa sekarang aku sedang dibuat takjub dengan segala upayamu menghandle banyak masalah pada waktu itu? Aku jengah dengan semua pertanyaan ini mih. Tolong ajari putrimu. Aku sungguh menyesal betapa bodohnya diriku yang dulu sudah melewatkan banyak resep hidup bahagia yang sudah ummi wariskan padaku namun tak sedikitpun kulirik walau sekejap.


•••


Jaten, 2002

Kepulangan Abah di tahun itu tentu membawa kebahagiaan mendalam bagi kami. Rasa rindu yang bertumpuk sungguh tak dapat terbendung lagi. Ummipun banyak menyimak dan memperhatikan setiap jengkal cerita Abah dengan penuh antusias tinggi. Sangat penuh romantis. Yeah, akupun akhirnya bisa segera bersekolah diantar oleh Abah. Ah, senangnya. Hari berlalu dengan sangat cepat. Aku sudah semakin beranjak menjelma menjadi gadis kecil ummi. Memori masa kecilku semakin sering dipenuhi dengan segala bentuk ketakutan akan sosok Abah yang penuh wibawa. Beliau yang dibesarkan dari didikan yang keras membuat kami di masa kecil lumayan sering meneteskan tangis karena didiknya dengan penuh disiplin. Menghafal, mengeja dengan tanpa tangisan manja dan cengeng. Tapi itu tak menghapus rasa cinta dan sayang ummi pada Abah. Ummi dengan sabar selalu menenangkan kita. Dan kamipun kembali ceria.


Ummi juga dengan sabarnya selalu ada menyertai Abah dimasa paling sulitnya. Berpindah menemani Abah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Hingga bagaimana cara Abah dalam membangun rumahpun ummi bahkan tetap mendampingi tanpa banyak berkeluh kesah hingga hari ini. MasyaAllah.


•••


Kartasura, 2003

Ummi sedang hamil besar adik nomor lima. Tapi Abah yang kala itu berjualan roti bakar masih belum juga terlihat menampakkan diri pulang ke rumah yang baru saja kita bangun bersama itu. Teringat sekali dalam memori kecilku, ummi yang dengan payah ingin sekali melahirkan. Jam sudah menunjukkan tengah malam sepertinya membuat ummi tak ingin merepotkan para tetangga yang sepi sedang terlelap dalam mimpi mereka. Kampungku dulu memang tak ramai dan sepadat sekarang, dulu sangatlah hening masih penuh dengan hutan belantara. Dan sepertinya ini dialog singkat yang kuingat, malam disaat aku masih terlelap pulas dengan sangat mudah terbangun karena mendengar suara kecil ummi yang merintih pelan.


" Fa, tolong ambilkan air di ember kecil ya,

Fa, ambilkan jarik (selendang,red) sama lap bersih,

Ambilkan juga Betadine, gunting, kapas dll" 

Pinta ummi padaku.


Dan dengan sigapnya aku malam itu menuruti semua perintah ummi. Satu persatu peralatan yang kau butuhkan untuk melahirkan adik bayi seorang diri ummi persiapkan sematang mungkin. Aku sebagai bocah lugu seusia SD saat itupun mengiyakan saja apapun yang ummi pinta kesana kemari. Rasa antusiasku terfokus sudah pada calon dedek kecil yang bersiap menyapa dunia. Aku sadar sekarang, betapa pemandangan langka yang terjadi malam itu memang benar adanya. Seorang ibu yang hanya dibantu putri pertamanya melahirkan anak kelimanya sendirian di penghujung fajar. Hiks, tentu ini bukan hal yang mudah dilakukan termasuk bagiku jika ada diposisinya malam itu. Aku juga sangat yakin semua itu membutuhkan ilmu dan keberanian atas pengalaman melahirkan ketiga anak pertama yang sudah pernah dibantu oleh Bu bidan. Dan kalau tebakanku benar, pada kelahiran anak keempat mungkin ummi juga belajar bersama Abah sebelum diberangkatkan ke Ambon. Apakah ummi bisa ceritakan detailnya? Karena usiaku yang masih balita belum mampu menyusun ingatan itu. Dan cerita tentang kelahiran kali ini jadi pengalaman paling bersejarah sepanjang masa kecilku. Aku sungguh beruntung. Sudah pernah dilahirkan dari rahim yang kuat sepertimu mih. Terimakasih ya.


Tak lama kemudian, Abahpun datang.

"Laa ilaa ha illalloh", Desisnya yang terkejut pagi itu saat menyaksikan pemandangan mengharukan putri kecilnya yang baru terlahir secara mengejutkan.


Dengan gesit Abahpun membereskan semua peralatan dan selendang kotor bekas persalinan ummi. Dan dengan sabar ummi juga mulai mempersiapkan segalanya untuk diperiksa kan ke bidan sebelah. Memang betul, samping rumahku adalah seorang bidan senior. Tapi entahlah sekarang aku hanya memandang heran betapa luar biasanya dirimu saat itu. 


•••


Kartasura, 2004

Aku menyadari ummi bukanlah ibu yang sempurna, tapi yang kutahu hanya engkaulah satu-satunya ibu terbaik yang sudah kumiliki hingga dua puluh tahun usiaku. Aku di masa kecil sudah sangat sering sekali menorehkan luka di hatimu, tapi sesungguhnya engkau adalah ibu yang sangat pemaaf. Bahkan sebelum kata maaf itu keluar dari bibirku, ummi selalu memeluk dan melupakan kenakalanku atau perkataanku yang boleh jadi menyakiti kalbumu. Kadang ummi sering bertanya padaku,


"Kenapa sih fa' kalau diminta melakukan sesuatu tidak bersegera? Kamu ngga mau ya membantu meringankan beban ummi?" Lalu dengan asal kujawab dengan keras,


"Ah aku ngga suka mih disuruh ini itu, capek!"


Ya Allah, betapa durhakanya aku membangkang perintah ibuku. Semoga Alloh memberikan gunung ampunannya padaku. Tapi tanpa kusadari semua ucapanku itu sering membuatmu sedih. Tolong maafkanlah putrimu mi. Seandainya waktu kecil kita bisa putar kembali. Apapun pintamu akan kulayani dengan sepenuh hati.


Masa-masa kecilku yang terus bertumbuh menjadikanku sosok yang egois dan kurang mengayomi banyak adikku. Aku terkenal mau menang sendiri dan tak suka mengalah. Aku lelah dan bosan Mungkin. Hingga suatu saat aku melihat ummi sangat marah dengan apa yang kuperbuat kala itu. Sebuah kenangan lama di masa kecil belia yang sudah kukubur dalam dan tak ingin kutuliskan disini hari ini. Tentu ummi sangat mengingatnya bukan?


"Jangan pernah lakukan lagi hal itu atau kamu akan menyesal nanti fa", gertakmu padaku.


Rupanya aku masih belum mengerti ancamanmu waktu itu akan berdampak besar pada kehidupan rumah tanggaku kedepannya. Akupun bersegera dalam bertaubat. Walaupun godaan untuk melakukannya datang lagi dan lagi. Semoga Alloh mengampuniku dan menghargai usahaku yang bersikeras menjauhinya. Asalkan aku disibukkan dengan banyak kegiatan bermanfaat aku pasti bisa terlepas kan mih, insyaAlloh. Semua itu tentu tak lepas dari peran suamiku tercinta, aku sangatlah bersyukur untuk semua jasanya selama ini. Semoga berbuah kebaikan.


•••

Kartasura, 2005

Satu pengalaman pahit yang membekas di jari mungilku sampai saat ini, adalah saat dimana aku mulai mengenal mata uang dan aneka jajanan di warung sekolah. Yang saat kupinta itu dari ummi, tak kunjung kudapatkan. Aku bahkan tak berani memintanya pada Abah. Entah apa yang merasukiku, dengan mudahnya aku mengambil sesuatu yang bukan milikku. Aku adalah bocah yang antara paham atau tidak mana yang milikku dan milik orang lain. Semua yang dimiliki orang lain, ingin juga rasanya kumiliki. Aku belum menyadari betapa berbahayanya sifat hasadku ini jika dibiarkan hingga dewasa kelak. Nauzubillahi min dzalik. Aku berlindung dari sifat yang demikian, akar dari kebanyakan manusia melakukan perbuatan mencuri. Benar, kebiasaan tadi tentu sangatlah mencoreng nama baik Abah yang turut mengajar di sekolah ku. Sang penjual warung sangat memahami bahwa aku hanyalah anak tukang roti bakar yang berjualan di depan SD setiap malam. Tapi ini harus segera dihentikan dan disadarkan. Hari itu saat putrinya tak mengakui perbuatan tercela tadi. Abah melukai punggung tanganku hingga berdarah ke dinding tembok WC yang belum disemen. Sangat menyakitkan. Sejak itulah aku menangis keras dan berjanji pada diri sendiri agar tak kembali mengulang kebiasaan buruk itu. Ummi bahkan menguatkan diriku agar terus belajar giat dan terus bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Satu nasehat yang selalu kuingat darimu mih, agar selalu mengutamakan kejujuran walau itu berat dan pahit untuk disampaikan. Terimakasih ya mih, amarahmu saat melihat anakmu tidak jujur membuatku sangat membeci kedustaan. Akupun lulus dari SD dengan penuh kebanggaan.


Kebanggaan atas perhatian dan pendidikan dari kedua orangtuaku. Agar tetap berani berkata benar dimanapun itu. Agar tidak malu mengakui kesalahan dan agar terus mempertahankan nilai kebaikan sampai kapanpun.


•••

Cilacap, 2007

Abah membawaku belajar menjahit sebagai bekal masa depanku kelak. Disamping bersekolah ke sebuah Tsanawiyah, aku tetap mengaji dengan Mbah Kakung. Itu saat pertama kalinya aku jauh darimu mih. Aku bahkan tak pernah sedetikpun merasakan rindu padamu. Aku yang mulai beranjak layaknya remaja kecil mulai terpengaruh dengan lingkungan sekitarku yang penuh dengan drama cinta monyet. Aku secara terang-terangan melepas jilbab yang selama ini ummi pakaikan padaku. Aku sangat menikmati duniaku, bukan belajar jahit yang kudapatkan. Tapi kedatangan Abah yang mengagetkan diriku. Ummi merindukan aku? Meminta Abah menjemputku pulang? Rasanya hati ingin menjerit tapi tak berdaya. Setelah sampai di rumah, ternyata calon pondok baru sudah disiapkan untukku. Akupun pasrah. Jawa timur sekarang menjadi tujuan tempatku belajar menimba ilmu. Disanalah pribadiku mulai terbentuk layaknya baja yang tahan banting. Melewati arus gelombang kehidupan yang semakin menguatkan jati diriku. Ummi dengan santainya melepasku. Aku sangat membencimu saat itu mih, tanpa kutahu bahwa sungguh berat bagimu melihatku pergi jauh. Baiklah, kini kusadari itu adalah saat dimana kedekatanku padamu mulai merenggang. Ummi bahkan tak pernah sekalipun berkirim surat padaku. Sebuah momen yang selalu kunantikan setiap hari, adalah saat ketika hari penjengukan tiba. Hari dimana teman-temanku mendapat pelukan ibunya. Tapi bagaimana denganku?


•••

Tulungagung, 2009

Di tahun terakhir ini, ummi mengirimiku surat untuk pertama dan terakhir kalinya sepanjang aku merantau jauh dari rumah. Memang aku tak menyangka akan mendapatkan sepucuk surat cinta darimu, saat itu hanya senyuman sinis yang kusunggingkan di depan Umik Idah Rahimahallah. Seorang ibu yang sudah menggantikan posisimu selama kita berjauhan mih. Ibu yang juga sahabat curhat bagiku. Rumahnya kecil menghimpit pojokan gerbang pondok. Tapi aku sangat hobi nongkrong dan bersantai disana. Oh andai diriku memiliki ibu sepertinya, batinku.


Maafkan aku ya mih. Entah dimana suratmu itu sekarang, aku tak lagi menyimpannya. Tapi jika kelak putriku seusiaku saat itu, ini yang ingin kutuliskan :


----

Putriku sayang, putriku manis

Rasa sayangku padamu sungguh tak terbatas

Aku hanya berharap kau selalu tumbuh sehat bahagia

Aku hanya mengharap sapaan kecilmu saat berteriak memanggilku dengan merengek seperti dulu masih ada


Tapi kau sekarang tumbuh jadi gadis cantik

Yang penuh semangat belajar tinggi

Maka pertahankalah itu sayangku

Ketahuilah itu satu-satunya bekalmu untuk perjalanan panjang kelak


Anakku tersayang,

Watakku yang keras mungkin saja menyakitimu

Watakku yang lemah mungkin justru membuatmu mengabaikanku

Tapi percayalah, itu semua demi kebaikanmu dimasa depan


Aku ingin mengajarkan disiplin padamu

Tapi akupun ibu yang terus mencoba

Bukan menjadi sempurna

Tapi belajar menjadi lebih baik


Aku hanya tak tahu caraku menyampaikan nasehatku

Aku hanya belum memahamimu saja

Tapi semoga aku bisa menjadi sahabat bagimu

Tempat putriku berkeluh kesah dan bermanja ria

Walau kadang itu kau jadikan senjata untuk melawanku


Akupun tersadar, semua sayangku padamu mungkin saja takkan pernah cukup memenuhi wadah cintamu

Tapi semoga saja kau dapat merasakannya


Bahwa kelak saat kau dewasa

Menjadi istri dan ibu bagi seseorang

Sebesar itulah pengabdianku untuk kalian

Sebesar itulah aku berjuang membesarkanmu


Maka tolong hargailah ibumu,

Sekecil apapun ia berusaha menyenangkanmu

Ummi sungguh tak mengharapkan apapun

Sebagai balas dan jasa


Yang diharap hanya putrinya tumbuh menjadi bidadari manis yang didamba suami, dan anak-anaknya

Yang dipinta tentu hanya satu doa yang abadi

Untuk dikirimkan bersama ajal yang pasti datang


Tolong kapanpun itu peluklah ibumu,

Sekali saja bisikkan bahwa kau juga merindukannya

Dari ummimu yang masih belajar

----


•••

Bonoloyo, 2010

Masih sangat terngiang dalam ingatan kecilku. Hari dimana ummi membuat Abah menangis. Hari saat aku akan memulai perjalanan baru di bangku SMA. Di hari itu ummi sudah menyakiti Abah dengan membuat cinta pertama putrimu yang terkenal keras karakternya itu menyeka air mata. Aku sangat kecewa padamu mih.


Perdebatan panjang ummi dan Abah untuk memberikan keputusan sekolah mana yang harus kuambil justru semakin membuat jauh hubungan kita. Aku malu dengan teman-temanku saat ummi datang menjengukku ke Asrama. Sangat jauh dengan perasaan banggaku jika Abahlah yang sedang menelfonku dari ujung perantauan. Oh ummi tapi dirimu dengan percaya dirinya tampil dihadapanku dengan membawakan aneka macam perbekalan seorang santri. Dan sekarang kau tahu mih? Sikap sinisku padamu saat itu berbuah manis dengan kenyamanan dan ketertarikanku pada sosokmu yang mengenakan niqab. Aku yang sekarang hanya tersenyum menyaksikan diriku di masa lampau. Betapa semua itu berbalik padaku sekarang. 


Dahulu aku menganggap dirimu sok paling benar sendiri. Nyatanya hidayah itu justru menyapaku. Dahulu aku bahkan merendahkan dirimu dengan hijab lebarmu. Kini justru aku yang ketagihan mengenakannya. Memang semuanya hanya isapan jempol jika belum merasakan langsung akan manisnya berproses lebih baik. Semua hanya semudah melayangkan nasehat dan kata-kata namun mengamalkannya akan jauh lebih berat. Dan hasil dari usaha kita tetap menjadi kehendakNya. Aku mulai memahami karaktermu, dan ummipun semakin menjaga jarak agar tak lagi adu debat denganku. Yang kutahu jika itu terus berlanjut hanya akan menyakiti satu sama lain. Aku hanya belajar agar bisa berdamai dengan ummi setiap saat.


Keinginan ummi untuk memindahkan aku ke pondok yang lain ternyata tak membuahkan hasil. Akupun sukses menyelesaikan study di Asrama dekat kuburan tersebut. Asrama terbaik yang pernah kutinggali. Asrama penuh drama kehidupan yang tak ternilai harganya. Disana entah berapa banyak kenangan manis yang sudah kuukir bersama kanvas hatiku. Selamanya ada dihatiku. Ummi sangat mendorongku untuk tetap belajar agama. Tapi Abah memintaku menggali potensi diri berbelok ke dunia kesehatan. Aku mulai bersemangat merancang mimpiku.


•••

Kartasura, Ramadhan 2013

Di tahun ini, tahun yang penuh kejutan. Bersamaan dengan caraku mengejar ambisiku agar bisa mandiri di usia dini. Aku menjajal berjualan jus buah di dekat SDku dulu. Disaat itu ummi juga memintaku tetap fokus taklim dan beriktikaf Ramadhan agar hari-hariku tetap produktif. Sambil menekuni kesibukanku di sebuah organisasi pelajar Islam, aku juga mulai survey ke sekolah kebidanan yang nantinya ingin kukejar bersama seorang sahabat. Disanalah muncul sebuah gagasan baru dari seorang kerabat agar aku segera dijodohkan dengan seorang Ikhwan. 


Ummi, aku paham kekhawatiran seorang ibu hanya bisa dirasakan anaknya jika kelak ia menjadi orang tua. Dan itulah yang baru kusadari. Betapa campur aduknya perasaanmu disaat diriku tak kunjung pulang ke rumah dengan dalih kesibukan akan banyaknya aktivitasku keluar bahkan hingga menginap sampai berhari-hari. Disana kita kadang terjadi kesalahpahaman yang panjang dan berlarut. Seandainya dulu aku lebih bijaksana dalam berdiskusi denganmu mungkin ummipun akan mendukung segala kegiatanku. Aku sangat sadar akan hal ini ketika putra pertamaku melakukan hal serupa, yang bahkan akan dua kali lipat jauh lebih cerewet mengingat ibunya yang dulu muda juga hobi bermain dengan teman-temannya bahkan lupa untuk sekedar berceloteh dengan ibunya setelah lelah seharian. Sangat kusayangkan apa yang dulu kurasakan, aku tak ingin itu terjadi pada anak-anak ku sekarang.


Tak kusangka mendengar perjodohan singkat dari kerabat Abah hari itu, ummi begitu bersemangat menyambutnya. Bahkan ketika Abah masih juga ragu, ummi terus saja mengiyakan dan mendorongku untuk tidak menunda. Tapi kuakui, tanpa izin dariNya melalui ummi. Mungkin pernikahan itu takkan pernah ada hingga detik ini. 


Aku yang dulu masih menyimpan dongkol padamu setelah tetap melanjutkan semua drama ini. Akhirnya mulai legowo dan ikhlas menganggap semua bagian dari rencana indahNya. Hari setelah menjalani orientasi mahasiswa akupun pulang mengadakan resepsi kecil di rumah. Saat ketika teman-teman seusiaku menikmati masa remajanya, aku malah disibukkan dengan percintaan anak muda yang sedang mekar-mekarnya. Menakjubkan memang, tapi sungguh mengharukan. Semoga teman-temanku memaklumi apa yang tengah kurasakan hari itu. Ingin rasanya kupeluk mereka semua, berharap aku segera terbangun dari mimpi dan aku kembali bermain dengan mereka. Kucubit keras pipiku dan terasa sakit. Ini nyata kawan, I'm married!


Ikhlaskan semuanya dan jangan terkejut ya mih. Jika semua mimpi putrimu dulu mungkin saja sudah terhapus tanpa bekas bersamaan dengan datangnya anggota baru di keluarga besar kita yang pastinya akan mengubah pola pikir dan caraku bermimpi kedepannya. Dan setelah sekian tahun berjalan, hari ini aku bisa menulis disini sebagai bukti bahwa putrimu tentu bisa bangkit untuk move on dari mimpi-mimpi udangnya menuju masa depan indah dengan keluarga kecilnya. Pastinya membutuhkan waktu yang tidak sebentar, diapun akan selalu bersabar dan menjalani prosesnya seperti apa yang sudah ummi lewati selama ini.


•••

Kartasura, Akhir 2015

"Apakah dengan menimang dan memamerkan cucu-cucu ummi pada mereka membuat dirimu bangga mih?", Kekesalanku disaat melahirkan putri kecilku yang kedua semakin meledak disaat ummi justru sibuk mengabarkan kepada teman-temannya. Ummi jadi nenek yang bangga punya cucu tapi terlihat langsing, mendadak tips kesehatan kau bagi-bagi. Betapa riangnya ummi kala itu.


Sekilas aku teringat matamu mih, di malam saat aku mulai merasakan kontraksi palsu bahkan hingga momen aku mengejan. Ummi tak pernah berhenti menuntun diriku untuk senantiasa mengingat Nya. 


"Istighfar fa.." pintamu padaku

Akupun menyadari besarnya cinta dan khawatir mu untuk putrimu ini. Maka ketika aku berhasil melewatinya, kaupun bersyukur dengan caramu mengungkapkan kebahagiaan. 


Jadi tolong, maafkanlah putrimu ini yang ketika masa menyusui datang terus saja merengek padamu untuk dibelikan aneka jenis asi booster dan jajanan lain pereda lapar yang tidak terkontrol. Bahkan hingga hari ini saja, suamiku sering mendengar keluh kesah yang sama. Akupun mulai terbiasa menyiasatinya dengan aneka cara agar si baby tak juga kekurangan susu. 


Dan sekali lagi mih, lupakanlah pelampiasan emosi yang sering kuluapkan padamu ketika aku merajuk. Merajuk menyalahkan dirimu untuk semua garis takdir yang kualami. Percayalah ummi, itu hanya emosi sesaat.


•••

Kartasura, Pertengahan 2018

Pertengkaran besar antara aku dan adikku karena hal sepele rupanya kesalahan besar yang sudah kutampilkan di depan ummi, aku sungguh menyesalinya. Ummi bahkan menjadi korban atas kekerasan fisik yang adikku lakukan terhadap seluruh saudaranya. Ini sungguh memalukan dan sangat kurang etis terjadi pada keluargaku. Saat itulah aku merasa ibuku telah disakiti di depan mataku. Seperti inikah pemandangan yang ummi rasakan setiap harinya? Dibentak bahkan disakiti oleh putra kandungnya sendiri? Lagi dan lagi terus saja terulang. Hanya Alloh sebaik-baiknya tempat mengadu dan pengadilan terbaik. 


Saat aku bersimpuh dihadapanNya, aku menyadari. Aku sering sekali beradu argument dengan ummi. Menyalahkan ummi untuk segalanya yang sudah kau berikan untukku. Terlupa membawakan sesuatu, memakai barang milikku, atau hal sepele lainnya yang tidak seharusnya aku marah padamu. Ketidakmampuan ummi membantu Abah dalam mengelola keuangan keluarga atau bahkan sebaliknya, banyak kekurangan ummi yang kadang terlontar dari Abah dengan maksud memberiku pengajaran malah salah diriku menerimanya. Ummi yang katanya hobi keluyuran, sekarang aku justru paham betapa penatnya dirimu jika seharian di rumah tanpa kesibukan. Bukankah keluarnya ummi mengandung mashlahat? Demi membagi ilmu yang sedikit untuk teman-teman tetangga. Memang, watak ummi dan Abah sangatlah berbeda dalam hal merawat rumah. Justru sekaranglah saatnya aku belajar dan praktek atas semua yang kupelajari. Hanya bertanya, mengapa banyak suami menginginkan istrinya tetap di rumah. Bahkan jika kurang pandai mengaturpun kita di rumah hanya bersantai riang tanpa mengerjakan aktivitas yang produktif bukan? Sedikit saja yang ummi lakukan dan nasehatkan untukku kadang aku malah mengelaknya. Sedihnya sudah menjalar ke kehidupan ku sekarang. Bukannya berbenah malah menyalahkan ummi? Aku menyadari betul, betapa hancurnya hatimu saat mendengar kata-kataku yang menusuk. Aku sangat berharap ini menjadi masa lalu yang sudah ummi lupakan walau tentu sangat membekas. Aku sangat menyesalinya dan bersungguh-sungguh untuk bertaubat dari yang demikian. Semoga kelak Allah turunkan juga hidayahNya untuk adikku. Sehingga jalannya menuju jalan kesuksesan tidak dihantui rasa bersalah sepertiku. Rasa bersalah yang pasti sangat mengganguku di kehidupan selanjutnya, namun kata ummi hanya dengan mulai memaafkan diri sendiri baru orang lain yang menyakiti kita sajalah kebahagiaan akan datang. Akupun mulai percaya bahwa diri ini bisa membuat ummi bangga suatu hari kelak. Sejak saat itu aku bertekad hanya akan melihatmu tersenyum mih. Bismillah. Semoga mimpimu ke baitullah segera kuwujudkan ya mih.


Seandainya ummi tahu bahwa dengan melihatmu giat dalam mengirimkan doa untuk kami semua, lalu caramu memberikan contoh terbaik pada anak-anakmu setiap harinya itu betapa sangat membuatku bangga memilikimu. Entah bagaimana caraku meneladani dirimu, aku ingin sekali berusaha menjadi ibu sepertimu. Mengatur waktu untuk belajar, menghafal, bahkan merawat Simbah yang sakit. Aku mungkin memintamu fokus menemani Mbah Putri, tapi diriku belum tentu bisa mendampingimu saat sakit. Bahkan bermimpi untuk bisa sedikit saja membalas jasamu selama ini rasanya tidak mudah. Mengapa aku harus selalu menghakimi dirimu mih?


Jika ada hal yang aku sangat bersyukur adalah aku yang sungguh putri yang beruntung bisa terlahir dari rahimmu shalihah seperti ummi yang sedari kecil sudah belajar tentang agama. Dan jika ada hal yang seharusnya bisa kulakukan sejak lama adalah untuk bersimpuh meminta maaf padamu sesering mungkin atau setiap hari memijat pundak dan kakimu sebagaimana yang kau pinta setiap saat kau merasa lelah namun diriku sibuk bermain. 


Dibalik sisi kurangnya ummi bagiku, justru tersimpan mutiara kilaunya dirimu dimata Allah. Umi adalah ibu dari kedelapan anak yang sangat luar biasa karena punya sisi lain berbeda dari ibu pada umumnya. Lalu mengapa baru kusadari itu sekarang? Disaat aku disibukkan dengan keluarga kecilku dan jauh sekali rasanya darimu. Aku bahkan hanya mampu bermimpi kecil, berharap kelak Allah izinkan ibuku bisa membaca coretan cinta ini sebelum kelak Allah satukan kita di taman SyurgaNya. Aamiin Allohumma Aaamiin.


And this is the last part of us.

Aku sungguh jahil.

Aku baru saja terbangun dari tidurku,

Aku paham arti belajar yang sesungguhnya.

Darimu aku tahu apa itu kekuatan dan kesabaran. 

Hanya darimu aku bisa,

Mewujudkan ikhlas melepas emosi. 

Yang aku melihat sebuah tekad nan tekun,

Disaat ummi membesarkan dan mendidik kami. 

Akupun belajar cara hidup sehat,

agar selalu enegik beraktifitas setiap hari.

Aku belajar tentang giatmu menuntut ilmu,

bahkan semangat yang tak pernah padam

dalam menebar manfaat di sekitarmu.


Dear ummi.

Usiamu hampir kepala lima,

Sungguh banyak dosa dan salahku padamu 

terimakasih ummi untuk segalanya.

Semoga kelak aku bisa meneladanimu 

Juga mengabdi padamu di masa senja 

bahkan setidaknya ada disisimu saat terakhir.


Kirimkanlah selalu doamu untukku,

Semoga aku salah satu putri shalihah di matamu,

Jika bisa kan kuulang baktiku untukmu 

Kuingin buat ummi bangga padaku

Mimpiku jadi tabunganmu di akhirat.

Maaf, maafkan untuk ribuan luka 

yang selalu saja kutorehkan.

Hanya ini yang sanggup kutuliskan saat ini.


Dari gadis mungilmu,

Ibu dari ketiga cucumu

Yang sangat merindukanmu disini.



Wonosalam, Oktober 2019



-Biodata penulis-


BintuZen adalah nama pena dari Penulis muda yang berasal dari Solo, Jawa tengah. Penulis yang bernama asli Wafaa'uz Zakiyah ini juga ibu dari tiga orang balita yang punya hobi memasak, membaca, dan sangat menyukai menulis sebagai luapan emosi jiwanya. Dengan menulis ia sangat berharap kelak bisa ditinggalkan menjadi jejak kenangan yang bermanfaat bagi banyak orang.


Bagi pembaca yang ingin mengenal penulis lebih dekat langsung saja ; follow ig bintuzen95 atau ke email zakiyahelwafaa@gmail.com dan boleh juga ke telegram @bintuzen95 dengan nomor +62 813-2576-7380 yaa.


Terimakasih:)




Comments

Popular Posts