GADO-GADO NAIK LEVEL

GADO-GADO NAIK LEVEL

oleh. BintuZen


Rumah kami bagai gado-gado, satu piring beragam lauk dan sayur

Jika disiram saus kacang pedas, sungguh nikmat dan menggoda siapa saja

Setiap hari, setiap saat kami bahkan hidup dengan beragam karakter dan sifat

Dengan banyak kepala yang tak satu, tapi jalinan cinta agama menyatukan kita

Perbedaan cara pandang dan berfikir, terkadang terasa amat kentara

Beruntungnya adalah, kedekatan ada karena banyak kesamaan

Sepertihalnya sepiring gado-gado, yang hanya nikmat jika dicampur padukan

Maka kebahagiaan kamipun, hanya bisa terasa bagi mereka

Yang "toleransi" pada rasa ego tentang kebenaran


Zaynab, 2010

"Sepagi ini umi sudah bangun? hendak kemana memang?", tanyaku penasaran melihat Umi yang sudah bersiap meninggalkan rumah Nenek. Dalam beberapa bulan kedepan kami harus merawat Nenek yang sudah terkena penyakit ginjal dan usus buntu. 

"Maaf ya Zay, Umi harus pergi ke kelas untuk mengajar. Tolonglah rawat sebentar Nenekmu", Umi mengiba meyakinkanku. Aku kagum karena semangat belajar Umi masih saja tinggi menggelora padahal di usianya itu sudah hampir kepala lima. 

Sekilas akupun teringat pada kakakku yang akan datang menengok Nenek bersama suami dan ponakanku yang lucu menggemaskan itu. "Ah, baiklah mi. Semoga lancar ya", jawabku sembari bersiap merapikan rumah Nenek.

Dahulu, Umi sering sekali berselisih pendapat dengan kakakku. Tentang apa dan bagaimana cara yang paling benar dalam menjalankan sebuah agama dari sesosok guru yang cocok di hati mereka. Tapi belakangan, aku senang karena hampir tak pernah lagi kudengar pertengkaran itu. Mereka juga sudah mulai menikmati kebahagiaan menjalani agama dengan caranya masing-masing. Yang membuatku bangga, prioritas kekeluargaan tetap menjadi yang paling diutamakan. Kerikil kecil pemicu kesalahpahaman kini takkan lagi menjadi hal besar untuk diperdebatkan. Sesekali saja aku akan tersenyum kecut, ketika masih menemukan dari sebagian sanak keluarga lain memandang kurang setuju atas apa yang menjadi keputusan kami. Walau pada akhirnya, semua itupun bahkan tak pernah mempengaruhi sedikit saja persatuan yang tengah kita bangun pondasi kekuatannya.


Fayruz, 2005

"Fay, pakailah pakaian muslimah yang tertutup rapi. Tak perlulah kamu pakai lagi segala hiasan bunga pada jilbabmu. Akan mengundang perhatian setiap mata nak", pinta Umi dengan nada selidik ketika memergokiku yang keluar rumah tanpa pamitnya.

Melihat sikap acuhku, Umi hanya mengelus dada. Rasanya hatiku mati mendengar setiap nasehatnya yang begitu memekakkan telinga. Aku lelah pada semua harapnya untukku agar selalu memintaku tampil sempurna dalam menutup aurat. 

Bukankah hijrah itu membutuhkan proses?

"Tolong mi, jangan bandingkan diriku dengan Zaynab yang sudah bisa mengulurkan niqabnya. Aku juga perlu waktu untuk menyiapkan mental itu", pintaku mengiba pada suatu hari ketika kami sedang bercengkrama bersama.

Memang, aku dulu sangat nyaman mengenakan set niqab itu. Memang, dulu akulah yang menginginkan untuk bisa seterusnya mengenakan itu. Tapi itu dulu, ketika aku tak dihadapkan pada kondisi ini. Kondisi lingkungan yang kurang mendukungku, teman sepergaulan yang bahkan sangat jauh dari sentuhan agamis. Maaf, beda cara pandang saja barangkali. Karena masalah niqab adalah hal yang sangat sensitif jika dibahas di kalangan para guru, ada yang mewajibkan ada pula yang menganggapnya Sunnah. Berpahala jika bisa mengenakan, dan akan merugi jika menanggalkan. 


Zaynab, 2000

Aku sangat terkejut dengan pinta kakakku pada Umi. Baru satu tahun kepergiannya ke luar kota untuk mondok, sekarang dia meminta beberapa set hijab dilengkapi niqab. Bukan satu atau dua, karena memang katanya ingin dipakai bersekolah. Sehingga memerlukan beberapa ganti warna yang serupa dengan seragamnya. Aku memang tak menyangka, hidayah datang menjemputnya secepat ini. Aku dulu tergerak mengenakan itu ketika melihat sepupuku yang merasa terlindungi dengan niqabnya, bahkan seorang balita saja bisa merasakan malu saat terbuka wajahnya. Dan sekarang, aku belum tahu apa yang menggerakkan hati kakakku sehingga meminta dikirim set niqab untuk bersekolah.

Beberapa bulan belakangan ini, keluarga besarku sering sekali mempertanyakan alasan Abi menyekolahkan kami -anaknya- ke berbagai lembaga formal yang menurut Abi jauh lebih kompeten. Seimbang dalam menyajikan keilmuan dunia dan akhirat, sekaligus menyediakan akses ijasah sebagai bekal di masa depan. Bagi mereka, sekolah yang dipihkan untukku adalah yayasan yang diragukan keilmuannya. Karena mendalami ilmu agama itu haruslah berhati-hati. Memilih obat untuk anak yang sakit saja tidak sembarangan, apalagi memilih seorang guru agama. Sekilas, aku mencium bibit-bibit fanatisme pada mereka yang muncul seiring berjalannya waktu. Namun aku berusaha menepisnya dengan tetap berbaik sangka.

Perdebatan Umi kemarin, barangkali terdengar oleh kakakku. 

Apa yang ingin kakakku buktikan sebetulnya? 

"Toleransi antar guru dan lingkungan tempat kakakmu belajar", kata Umi.


Fayruz, 2003

"Fay, dengarkan Abi. Saat ini kamu akan Abi daftarkan ke Madrasah. Maka sebaiknya, lepaskanlah dulu niqabmu. Kenakan itu jika memang hatimu telah siap, jangan sampai kamu buka-tutup niqab hanya karena niat-niat yang kurang baik atau sekedar ikut-ikut ya nak", pinta Abi menatapku halus di hari wawancara penerimaan murid baru. 

Deg! Jantungku berdegup kencang tak percaya. Aku yang bahkan beroptimis untuk tetap memperjuangkan niqab ini mendadak lemas tak berdaya mendengarnya. Akankah kulepas niqab ini demi persyaratan diterimanya aku disini? Berat tanganku mencoba tegar kala membuka niqab ini. Bergetar jiwaku, mengharapkan mimpi jika memang saatnya nanti tiba. Pastilah akan kembali kukenakan, kelak jika dikehendaki bersama niat yang terus kubenahi.

Tapi sejujurnya yang terjadi padaku, setelah hari itu. Jilbab besar yang tadinya aku suka pakai, mulai mengecil dan semakin pendek. Bukan toleransi yang malah kudapatkan disana, tapi tatapan penuh sinis dengan segala jenis prasangkanya. Bukan, itu hanya bagian dari bisikan iblis yang semakin hari menghantuiku. Bisikan untuk menanggalkan jilbab besarku, godaan pada cara berpakaianku yang semakin liar tak terkendali. 

Untuk apa menonjolkan baju yang agamis, jika hati masih mudah tergoda pada nafsu syahwat? Untuk apa berjilbab besar, jika kata masih berucap kasar? 

Aku merenung panjang mencoba memperbaiki kualitas diri.

"Ya Allah, kuatkanlah tekadku untuk berhijrah ke arah yang lebih baik", desisku setiap saat.


Zaynab, 2007

"Mbak, kulihat Abi bersama seorang lelaki asing di ruang tamu. Apakah kakak akan menikah dalam waktu dekat?", tanyaku padanya mengasal.

"Entahlah Zay. Aku masih bimbang mengiyakan saran dari lek Mad. Aku ingin tetap merintis karir dan berkuliah, tapi karena hobi keluyuranku itu...", tukas kak Fay terputus melihat Abi datang menghampirinya. Aku semakin faham, alasan yang melandasi Abi bersegera menikahkan kakak sedini mungkin. Menjaganya dari fitnah? Tentu. 

"Fay, segeralah bersiap diri untuk nadhar. Gunakanlah kembali niqabmu untuk menghormati calon suamimu ya", pinta Abi pada kakakku.

Dengan wajah datarnya, kakak bersegera mengiyakan perintah Abi. Semenjak kakak tak pernah lagi mengenakan niqab lebarnya, bagiku terasa sangat aneh.


Fayruz, 2010

Setelah lewat tiga tahun pernikahanku. Aku mulai terbiasa menyelami bahtera yang sering diterjang badai, kuliahku tak lagi berlanjut semenjak memutuskan untuk mulai merawat anakku. Aku semakin menikmati kebersamaanku dengan kekasih hati yang dimabuk kasmaran. Aku tak mengerti, apakah aku mulai tenggelam dan sesak nafas menjalani bahtera ini? Perjuanganku dalam memahami karakter dan kebiasaan lama suamiku tidaklah mudah. Tapi aku sungguh bersyukur akan sifat lembut, sabar dan toleransi yang diajarkan suamiku padaku. Sehingga lambat laun, aku semakin belajar bagaimana seharusnya kita menyikapi sebuah perbedaan. Karena hakikatnya tak ada seorangpun manusia yang terlahir sempurana dan sama antara satu dengan yang lainnya. Aku semakin dewasa untuk meredam ego, lebih peka tentang rasa. Kedatanganku ke rumah Nenek disambut Zaynab penuh antusias, walau terkadang Nenek mengeluhkan keluarganya yang terlihat kurang akur. Nenek sangat membanggakan Umi termasuk kami Cucunya yang sangat kompak. "Terus bersama-sama ya cu", katanya dengan suara parau penuh makna mendalam mengharukan suasana ditengah celotehnya si kecil yang merajuk minta susu. Akhirnya, keinginanku untuk hijrah menjadi pribadi yang lebih baik perlahan terwujud. Aku jauh lebih bahagia.

Tak lama, Umipun datang menyusul. Terimakasih suamiku, darimu aku sekarang bisa berdamai dengan keluargaku. Menikmati gado-gado buatan Umi yang terasa lebih lezat dari biasanya. Sudah naik level! ^_^



-Biodata penulis-


Hai, salam kenal yaa!

BintuZen adalah nama pena dari penulis muda yang berasal dari Solo, Jawa tengah. Penulis yang bernama asli Wafaa'uz Zakiyah ini seorang Ibu Rumah Tangga dari tiga orang balita. Penulis berkepribadian sanguin ini juga punya hobi di dapur rumahnya, gemar menebar manfaat dan sangat menyukai menulis sebagai upaya untuk merekam jejak pengalaman hidupnya juga Terapy jiwa (self healing).


"Dengan menulis aku sangat bermimpi bisa berkomunikasi dengan siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Semoga kelak tulisanku bisa kutinggalkan menjadi setetes hikmah bagi banyak manusia." 

Tambah Penulis kelahiran 20 Maret 1995 itu.


Nah, bagi pembaca yang ingin mengenal penulis lebih dekat langsung saja :

follow Instagram dan twitter @bintuzen95 

email zakiyahelwafaa@gmail.com 

telegram @bintuzen95 dengan nomor WhatsApp +62 813-2576-7380 


Do the best, Alloh Will do the rest!

Terimakasih dan semangat berkarya:)




Comments

Popular Posts